Minggu, 03 Juni 2012

Review Penyelesaian Sengketa


Penetapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.


Pengarang :            Hj. Reny Supriyatni

Di Susun Oleh :
1.     NURVITA SETYANINGSIH   25210225
2.     RIDWAN                                 25210915
3.     RISCA DAMAYANTHI            26210025
4.     RIZA FAJAR ANGGRAENI   26210089
5.     SETYO RINI PURBOWATI   26210489

Kelas       :             2EB06

Abstraksi
The development of Islamic economic institutions in Indonesia has created the conflict of interest between stakeholder and Religious Court, especially in settlement of syariah-economic disputes. The application of fiqih muamalah in settlement of syariah-economic disputes in Islamic Religious Court, has been the crucial issue in Indonesia positive law . This article will seek to find and determine whether the application of fiqih muamalah as a basis in such dispute settlement is consistent with the Islamic Law Principles. It also examines the implementation of fikih muamalah that has become an Indonesian postive law. This research applies juridical normative approach. Data collection is gathered from library research complemented by primary from field research. The specification of this research is descriptive analysis, and the data gathered is analyzed in qualitative method. The article will demonstrate that the above fiqih muamalah rules are stipulated in Law No.3 of 2006 Jo. Law No 50 of 2009 on Second Amendment of Act No.7 of 1989. Meanwhile, the Islamic Law Principles have been adopted by Law No.21 of 2008, the Supremre Court Decree No 2 of 2008 and other relevant laws and regulations. The author recommends that the Indonesian Government adopt implementing regulation on syariah- economic. It is also recommended that the government should enhance socialization of the laws and regulations relating to fikih muamalah and syariah –economic to the general public. This can be a guidance for the Indonesian Muslims to comprehensively practice their religion teaching.

Pendahuluan

Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan hukum sebagai a tool of social engineering.

Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest) dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud adalah dalam hal penyelesaian sengketanya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari’ah.

Berdasarkan data yang yang diperoleh dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui situs Badan Peradilan Agama,2 hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara ekonomi syari’ah mengalami sedikit kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kendala dimaksud antara lain:

1.     Baru pertama kali menangani perkara ekonomi syari’ah, sehingga wajar apabila pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani perkara tersebut belum memadai;
2.     Masih belum ada hukum materiil ekonomi syari’ah yang terkumpul pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim harus menggali hukum materiil yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya dari: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan rujukan lain. Kendala ini tidak terlalu dominan, karena umumnya para hakim Pengadilan Agama berlatar belakang Sarjana Syari’ah yang tentu saja pernah mempelajari hukum ekonomi syari’ah/hukum muamalah.

Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum, tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living law).

Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding).

Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), pada dasarnya apabila hakim mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fiqih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fiqih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan.

Namun apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.

Perbedaan antara putusan hakim dengan fiqih madzhab sangat dimungkinkan terjadi, mengingat kebenaran doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu saat fiqih dibuat.5Dalam perspektif azas legalitas dan persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UUPAg bahwa: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang ”


Pembahasan

·         Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama. Masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya. Dasar hukumnya adalah:

v  Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
v  Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau perkara
v  Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih mengetahui.

Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan. Apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.

32 Hakim Agama yang mendasarkan putusannya semata-mata atas dasar doktrin madzab yang dianutnya dengan tidak memperhatikan madzhab yang diikuti oleh para pihak atau nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat, berarti hakim tersebut telah menjadikan madzhabnya sebagai kitab hukum, maka hal ini bertentangan dengan asas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan berdasarkan hukum, dan dalam teori hukum Islam hakim yang demikian termasuk hakim muqallid -taklid buta- yang dilarang (diharamkan) dalam Islam.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:

v  Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;
v  Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman):

·         B. Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia

Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai acuan pada sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh para pihak. Adapun fikih muamalah dari para fuqaha yang telah diformulasikan oleh DSN diantaranya:

1.     Fatwa –MUI No. 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Faidah).
2.     Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro.
3.     Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan, dll

Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik.

Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak hanya mengikat bagi para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah dijadikan hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang berbunyi “ Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah terdapat beberapa peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang ekonomi yang telah menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:

1.      UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2.      UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Label halal);
3.      UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4.      UU. Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;















Kesimpulan

1.     Pengaturan penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang ekonomi syari’ah. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
2.     Aktualisasi fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No. 01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah.

Sumber Jurnal
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=65130&idc=21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar