Minggu, 29 Mei 2011

perkenomian indonesia pra kemerdekaan

Perkomomian Indonesia pra kemerdekaan

Formasi sosial di Indonesia yang telah berkembang sejak abad yang lalu, mencakup suatu konfigurasi rumit produksi komoditi kecil (di dalamnya termasuk produksi petani/tuan tanah dan produsen kecil maupun produksi kerajinan dan pertukangan) serta berbagai tingkat produksi komersial dan kapitalis. Proses revolusi dan industrialisasi kapitalis berlangsung amat lamban. 
Indonesia belum menjadi masyarakat borjuasi dan proletariat, tapi sebagian terbesar masih terdiri dari tuan tanah dan petani-penyakap, produsen komoditi kecil dan pejabat negara, serta 
petani tak bertanah dan penganggur.

Namun demikian negara di Indonesia sejak abad lalu telah menjadi negara kapitalis, yang menciptakan kondisi bagi akumulasi modal dan menjamin dominasi sosial dari berbagai kelompok borjuasi. Tetapi perkembangan negara ini telah melewati berbagai tahap yang khas, yang berkaitan dengan transformasi struktur kelas, taraf produksi kapitalis, dan pertarungan politik. Hanya dalam konteks tahap-tahap khas inilah, transformasi atau peralihan bentuk dan fungsi negara di Indonesia dapat dipahami. Periode-periode yang terpenting ialah:

1. 1870-1940: Periode enclave atau kantong-kantong produksi yang menghasilkan komoditi ekspor (terutama gula di Jawa, karet dan kopi di Sumatra). Dalam periode ini negara terutama mewakili kepentingan modal Belanda. 
2. 1941-1958: Periode ini memperlihatkan kemerosotan ekonomi enclave dan produksi komoditi ekspor yang disebabkan oleh situasi ekonomi dunia maupun melemahnya investasi modal Belanda dan merosotnya daya-mampu borjuasi Belanda dalam mendominasi aparatus negara. Negara republik yang menggantikannya berada dalam kekosongan ("vacuum") kekuasaan sosial karena lemah dan terpecah-belahnya kekuatan kelas sosial. 
3. 1958-1965: Negara melakukan nasionalisasi terhadap ekonomi kolonial yang runtuh, dan melakukan mediasi (perantaraan) dalam kemelut pertentangan yang semakin sengit antara persekutuan sosial-olitik yang bertujuan revolusi sosial di satu pihak, dengan persekutuan yang bertujuan membangkitkan kembali kapitalisme di lain pihak. Periode ini berakhir dengan kemenangan kekuatan-kekuatan kapitalis dan kalahnya kekuatan revolusi sosial.
4. 1965-1981: Negara Orde Baru yang didominasi militer mengkonsolidasikan kekuasaan atas dasar persekutuan antara modal asing, pemodal Tionghoa (cukong), dan modal besar pribumi; negara bersandar pada sistem produksi kapitalis yang digerakkan investasi Amerika Serikat dan Jepang dalam sektor sumber daya dan energi serta dalam produksi industri ekspor dan substitusi impor yang semakin meningkat. Percepatan transformasi ini merasuki kekuasaan sosial ekonomi borjus, borjuasi Belanda mulai menekan monopoli negara ini dan membuka negeri jajahan bagi investasi modal swasta. Pada 1970 undang-undang tanah baru memungkinkan para kapitalis Belanda menyewa tanah-tanah luas yang "tidak digunakan" untuk tujuan pertanian perkebunan dan melengkapi kapitalis ini dengan sewa tanah milik desa jangka pendek (21 tahun). Negara tidak lagi camput tangan langsung dalam proses produksi yang memaksakan penyediaan tenaga kerja dan menjamin penyerahan hasil bumi, melainkan menjamin kondisi umum bagi eksistensi dan reproduksi ekonomi perkebunan kolonial.

Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara. Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing. Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981. Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali, selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997. Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu, yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut. Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam memengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75% Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$ 2 per hari.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet. Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor industri menyumbang 40,7%, dansektor pertanian menyumbang 14,0% Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu 44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8%.
Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.

Perekonomian

Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami penurunan adalah ditahun 1997 dimana pada masa itulah awal terjadinya krisis. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar pada level 4,7 persen, sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8 persen. Kondisi keamanan yang belum kondusif akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia. Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini sangat berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada penerimaan negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi dimasa mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka harapan meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan semakin meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah kondusif. Kebijakan pemerintah saat ini di dalam pemberantasan terorisme, serta pemberantasan korupsi sangat turut membantu bagi pemulihan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara akan menjadi prioritas utama bila ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa aktivitas ekonomi sedang berlangsung dengan baik pada negaranya.

Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada tahun 2007.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar